Basri Wahid

Banyak yang mengatakan bahwa guru yang bernama BASRI WAHID ini salah mengambil jurusan. Pasalnya, karena ia lebih banyak berkecimpung di bidang seni mus...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja di Danau Biru

Senja di Danau Biru

#Tantanganmenulisgurusiana

#Tantangan hari ke-48

Senja di Danau Biru

(Cerpen: Basri Wahid)

Angin berbisik malu pada ranting-ranting dan dedaunan tepi danau itu. Semburat senja kian sempurna. Warna biru air danau itu memudar secepat cahaya mentari yang semakin condong ke barat. Camar mengepakkan sayapnya menggantung di langit berirama tak teratur dengan teriakan-teriakan lembut yang keluar dari paruhnya.

Dua insan ini masih terdiam membisu beberapa saat menatap danau yang terhampar di hadapan mereka. Mengenang pejalanan waktu yang begitu singkat. Mengenang masa lalu yang serasa baru kemarin usai.

“Kita sudah sama-sama tua“ Kata Jaima memecah kebisuan. Angin senja memainkan ujung kerudungnya hingga berkibar layaknya bendera yang terikat pada tiangnya.

“Ya. Kita bukan yang dulu lagi.” Berahim menambahkan sembari menghela nafas.

“Sebentar lagi kamu akan menimang cucu, Kamu akan jadi kakek.” Kata Jaima tersenyum seolah dipaksakan. Lesung pipitnya masih kentara ketika senyum tua itu mengembang.

“Kamu juga sebentar lagi akan jadi nenek”

“Ya, aku akan jalani hidupku apa adanya walau anakku kini tinggal satu. Dan itulah satu-satunya harapan setelah musibah demi musibah terlewati.”

“Kau harus tabah Jaima, harus kuat, sebagaimana dulu kau menasehati aku, ketika aku kehilangan kendali menghadapi masalah berat”

“Ya. Peruntungan kita tak sama. Garis hidupmu lebih baik.”

“Semua harus kita terima dan syukuri, Jaimah!”

“Kehidupan rumah tanggaku gagal, Him!. Bang Serun tak pernah berubah. Kini dia pergi bersama wanita lain. Tiga tahun berselang si sulung juga meninggalkanku untuk selamanya. Dia menjadi pekerja tambang. Lubang-lubang dan tanah itu telah membawa maut. Ya, lubang kematian”

“Kuatkan hatimu Jaima! Semua sudah suratan takdir. Kita harus percaya itu.”

“Ya. Aku sudah kuat. Badai cobaan yang menimpaku ini justru membuat aku kuat menghadapi hidup. Allah telah menggariskan semuanya untukku.”

Berahim menatap wajah sembab itu dengan rasa iba yang dalam. Beban hidup menggelantung pada pipi yang mulai kendor itu. Guratan wajah tua mulai tampak pada setiap sudut pipinya.

Dua puluh delapan tahun bukan waktu yang singkat. Sudut pipi itu begitu montok ketika Berahim mengenalnya sebagai gadis periang di kampung. Kini di usia menjelang setengah abad mereka bertemu. Usia yang tak muda lagi setelah asam manisnya kehidupan mereka jalani dengan garis hidup masing-masing.

****

Kepulangan Berahim kali ini merupakan yang kedua kalinya setelah berpuluh tahun di tanah rantau. Lima tahun lalu ia pulang karena mendapat kabar ayahnya sakit keras hingga meninggal. Selain rindu akan kampung halaman ,Berahim juga rindu Umak yang kini tengah menghabiskan sisa umurnya. Umak yang telah membesarkannya dengan kasih sayangnya. Tapi setelah Berahim dewasa, umaknya ia tinggalkan karena tak kuat menahan beban masalah. Tak kuat menghadapi kenyataan. Mimpi dan harapannya kandas di tengah jalan. Berpuluh tahun Berahim merantau hingga dimakan usia.

Pertemuan Berahim dengan Jaimah kali ini seakan membuka lembar-demi lembar halaman-halaman buku yang telah usang ditelan waktu. Seakan mengulang kembali episode dalam hidupnya. Jaima yang ia kenal dulu periang kini hanyalah seonggok daging tak berdaya yang butuh belas kasihan.

Ia masih ingat persis peristiwa itu ketika ayah Jaimah berucap dengan kerasnya. Peristiwa yang amat menyakitkan dalam kehidupan asmara Berahim dan Jaimah.

“Aku tak kan menyetujui hubungan kalian!”

“Tapi , inilah pilihan Jaimah ayah,” Jaimah memelas sambil menangis

“Tidak, kau tak boleh menikah dengannya, Jaima!!! Keputusan ayah sudah bulat. Masih banyak lelaki lain yang lebih baik.”

“Lalu, apa kekurangan Bang Berahim hingga ayah tak sudi? Bukankah Jaimah yang akan menjalaninya Ayah?”

“Aku tak sudi bermenantu dengan anak pencuri”

“Anak pencuri? Setega itukah ayah menuduh? Isak tangis Jaima tak terbendung. Berahim mencoba menenangkan Jaima dan perasaan dirinya sendiri yang dihina habis-habisan oleh ayah Jaima.

“Maaf, kalau Bapak tak setuju bermenantukan aku jangan menghina atau menfitnah orang tuaku. Baik, aku akan pergi!” Jaima berteriak histeris ketika Berahim pergi meninggalkannya. Ia pingsan kehilangan lelaki yang ia cintai dengan tulus.

Kata-kata itu betul-betul menghunjam dalam sanubarinya hingga kini masih terasa. Sebuah hinaan besar bagi Berahim. Ia betul-betul tak terima dengan kata-kata hinaan itu.

Ayah Jaimah dan ayah Berahim sama-sama bekerja pada PT Timah. Pak Deraman, ayah Jaimah merupakan orang terpandang. Ia menjabat sebagai staf timah. Sedangkan Pak Semaun, Ayah Berahim hanyalah karyawan biasa. Secara status sosial kedudukan ayah Berahim lebih rendah jika dibanding ayah Jaimah. Demikian pula dengan perlakuan, pemberian fasilitas antara staf dan karyawan begitu kentara.

Dulu penambangan timah dimonopoli oleh PT Timah, tidak diserahkan kepada masyarakat. Pada masa itu tak ada penambangan liar seperti sekarang ini. Setiap orang dilarang mengambil apalagi memperjualbelikan timah selain PT Timah. Sekalipun untuk kepentingan pribadi, bukan untuk dijual, karyawan timah dilarang mengambil timah. Sekecil apa pun itu, apabila ketahuan akan dipidana.

Ayah Berahim bekerja di bagian gudang penyimpanan timah. Pada suatu malam, entah bagaimana, Pak Semaun, Ayah Berahim lalai menjalankan tugasnya. Ada sekelompok orang nyolong timah untuk diseludupkan ke Malaysia. Sialnya Pak Semaun menjadi tertuduh hingga dipenjarakan.

Tak ada bukti yang kuat kalau Pak Semaun ikut mencuri, walau pengadilan menjatuhkan vonis padanya. Maka sampai hari ini Berahim tidak terima kalau ayahnya dikatakan pencuri. Berahim merasa ada ketidakadilan. Maka dari itu setiap kali ia mendengar berita tentang kasus hukum yang timpang di negara ini, ia merasa muak, jijik, geram karena teringat dengan almarhum ayahnya yang diperlakukan tidak adil.

Sejak peristiwa itu nama ayahnya tercoreng. Pak Semaun berhenti bekerja. Untuk menyambung hidup beliau berkebun lada. Dengan lada itu pula Berahim bisa melanjutkan pendidikan di tanah rantau hingga menjadi sarjana.

Ia ingat ketika masa SMA sekitar tahun 80-an. Harga lada melambung. Banyak orang beralih profesi menanam lada. Ketika banyak orang kampung kaya karena lada, bertambah pulalah masyarakat beramai-ramai dan berlomba-lomba menanam komiditi ini. Istilah populer dalam bahasa kampungku “irau madu, irau kumbang.” Atau ada yang sekedar ikut-ikutan tapi tak membawa hasil. Orang mengistilahkan ini dengan “angat-angat taik ayam.”

Sejak PT Timah bangkrut, penambangan timah tidak lagi dimonopoli PT Timah tetapi diserahkan ke masyarakat sehingga bermunculanlah tambang-tambang kecil hingga menjamur. Maka ketika harga timah melambung banyak orang meninggalkan berkebun lada untuk memburu biji timah yang menggiurkan itu. Kebun-kebun lada pun bahkan berubah menjadi semak belukar bahkan dijadikan area tambang.

Kecuali Pak Semaun, ayah Berahim, beliau konsisten pada pediriannya untuk tetap berkebun lada berapa pun jatuhnya harga di pasaran, dan berapa pun tingginya harga timah beliau tak terpengaruh untuk beralih profesi menjadi penambang.

Bermodalkan kesarjanaannya, Berahim bertarung dengan kehidupan di tanah rantau. Berbagai pekerjaan telah ia geluti, hingga ia berhasil memilki sebuah usaha restoran di Batam. Dari tanah rantau inilah Berahim mendapatkan dapat informasi kalau Jaimah dinikahkan dengan pria pilihan ayahnya. Ada sesuatu yang menyayat kalbunya. Harapan dan mimpi untuk membangun rumah tangga bersama Jaima kandas di tengah jalan. Berahim memutuskan untuk tetap bertahan di tanah rantau.

Semula hidup Jaimah berkecukupan. Namun karena suaminya suka berfoya-foya dan gila perempuan, usahanya pun bangkrut hingga ia meninggalkan Jaimah dengan dua anaknya.

Sungguh ia tak menyangka kalau Jaima bakal mengalami nasib seperti ini. Jaima yang ia kenal dulu adalah sebuah pengharapan besar. Sebuah mimpi besar mengarungi samudra cinta dengan biduk rumah tangga menuju pulau bahagia. Ah, itu hanya masa lalu yang tak pantas lagi untuk diingat-ingat.

Perjalanan berlibur di tanah kelahiran juga kembali mengingatkannya pada masa kecil yang begitu indah. Kelelahan hidup di perantauan dengan segala hiruk pikuk kesibukan menjadikan seakan ia terlepas dari cengkraman, keluar dari penjara kebisingan dan polusi.

Masih lekat dalam ingatannya betapa ia begitu suka mandi di sungai yang mengalir jernih. Gemericik air dan suara burung menjadi nyanyian merdu penghibur hutan. Kini sungai jernih itu tak lagi ia jumpai. Ia hanya menyaksikan danau-danau kecil dan gundukan-gundukan pasir, pohon-pohon tumbang yang akar-akarnya mengering dibakar mentari.

Ia juga tak lagi menyaksikan senda gurau gadis-gadis mandi sambil mencuci pakaian berjam-jam dengan kain basahannya. Berahim masih rindu akan semua itu.

Namun kerinduannya masih bisa sedikit terobati ketika menyaksikan keindahan danau yang membiru memancarkan cahaya kemilau ketika siang hari. Danau bekas galian tambang itu kini menebar pesona hingga tiap pelancong yang datang selalu singgah untuk menyaksikan keindahannya atau hanya sekadar berfoto sebelum terbang meninggalkan kampung tercinta.

Kini Berahim dan Jaima tengah duduk ditepi danau itu. Seperti mengulang masa lalu ketika mereka pergi ke sungai yang jernih menatap ikan-ikan bermain riang.

“Masihkah kau ingat Jaima?”

“Tentang apa?”

“Ketika suatu kali kau melempar dua helai daun ke sungai yang mengalir jernih?”

“Ya, aku ingat, dua lembar daun itu . Katamu ketika dua lembar daun itu berada pada posisi yang sama telentang atau tertelungkup maka tanda baik buat kita.”

“Tapi kenyataannya, hingga beberapa kali kau melempar daun itu tak pernah berada pada posisi yang sama. “

“Ya, dan aku tak mau lagi melemparnya karena aku takut kehilangan kamu. Ah… itu masa lalu yang menyakitkan, Him! Sudahlah tak usah diingat lagi ”

Raut wajah Jaimah seketika berubah. Berahim tak mau lagi mengisahkan tentang masa lalu yang penuh kenangan itu. Ia juga tak kuasa menatap mata Jaimah terlalu dalam. Ada gemuruh di dada mereka tatkala mengingat-ingat masa lalu itu.

Berahim yakin sungai yang penuh kenangan itu kini tak ada lagi. Kalau pun masih ada tentu airnya sudah keruh dan dangkal, tak dihuni oleh ikan-ikan. Yang ia saksikan sekarang hanya danau biru, Juga beratus atau beribu danau lain yang menghiasi pulau ini. Tapi danau biru yang satu ini sungguh membuatnya terpukau.

Tiba-tiba handphone Berahim berdering. Dia ingat tadi sebelum pergi ke danau ini, isitrinya sempat menelpon kalau si bungsu kurang sehat. Berahim merogoh sakunya dan mengeluarkan handphonenya. Di layarnya tertera nama Ibu Rosi , istrinya.

“Kapan Ayah pulang?”

“Rencana sih lusa Bu.”

“Besok aja Yah! tolong cepat pulang!”

“Ada apa?”

“Rini harus diopname Yah. Suhu badannya tambah tinggi. Badannya lemas banget” Suara istrinya lirih

“Sudah periksa darah?”

“Sudah. DBD!”

“Ya… kalau begitu ayah pulang besok”

Terpaksa Berahim harus mempercepat kepulangannya. Belum hilang rasa rindu pada Umak, Berahim kembali meninggalkan kampung halaman yang semula direncanakan untuk tiga hari. Si Bungsu mendadak sakit.

Berahim kini tersadar akan posisinya sebagai kepala keluarga sebagai seorang suami yang baik bagi istrinya, sebagai ayah bagi anak-anaknya. Ia harus pulang demi keluarga tercinta, meninggalkan lembar demi lembar buku usang yang sempat ia buka kembali. Meninggalkan Jaimah yang kini tak berdaya menatap danau biru.

Senja semakin temaram. Semburat raja siang itu semakin memerah melukis langit Belitung. Menorehkan memori masa lalu tak lekang oleh waktu. Danau biru itu kini telah menggigil dibalut selimut angin senja ketika shalawat nabi mulai mengumandang membelah langit.

Tanjungpandan, 17 Agustus 2016

(Penulis adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Tanjungpandan)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Good pak cerpennya

27 Mar
Balas

Terima kasih bu

28 Mar

Wow! Keren bingit.

27 Mar
Balas

Trims

27 Mar

Wow, keren pak, mantap, rangkaian kalimatnye sangat indah, ngikut ek alur ceritenye jd asyik

27 Mar
Balas

Terimak kase

27 Mar

Keren cerpennya pak, kata demi kata sangat indah ,salut

27 Mar
Balas

Terimakasih bu atas tanggapannya

27 Mar

Keren nian. Hanyut. Lanjut ttt

27 Mar
Balas

Terima kasih

27 Mar

Mantul kik

27 Mar
Balas

Trims

27 Mar

Mantap pak, semoga sehat selalu

27 Mar
Balas

Trims, amiin

28 Mar

Mengenang Danau biru, yeh. Kereen cerpennye

27 Mar
Balas

Auk he he

27 Mar

Mantap Pak.

27 Mar
Balas

Trims

27 Mar

Keren sekali ceritanya, guru bahasa memang hebat menulis dan merangkai kata, semoga selalu menginspirasi, sukses selalu ibu, salam kenal

27 Mar
Balas

Terimakasih Pak, eh salah bu atas komentarnya

27 Mar

Eh maap bapak rupanya heee, salam kenal pak

27 Mar
Balas

Iya, Bapak itu, Bu.

27 Mar

Salam kenal kembali bu

27 Mar



search

New Post